TUGAS WAKTU KULIAH GEOKIMIA
Soal
Bronto dkk (2008)
menyitir ke Ngkoimani (2005) bahwa umur lava bantal di Watuadeg adalah 56±3,8 Ma. Ngkoimani (2005) menggunakan metode
penanggalan K-Ar dalam penelitiannya.
Tugas anda adalah membuat penilaian terhadap hasil
umur tersebut, dengan mempertimbangkan persyaratan penanggalan radiometri
menggunakan metode K-Ar, geologi Pegunungan Selatan, dll.
Jawaban :
Secara umum
tektonika di selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh zona subduksi dari lempeng
Samudra Hindia-Australia di bawah kerak benua Eropa-Asia yang terjadi sejak
pertengahan Zaman Tersier. Akibat pergerakan subduksi tersebut menghasilkan
gejala magmatisme-volkanisme. Hal ini dibuktikan dengan adanya batuan gunung
api berumur Tersier (gunung api purba) yang diperkuat dengan munculnya lava dan
breksi gunung api di beberapa tempat di Yogyakarta. Gunung api purba tersebut
tercermin sebagai bukit-bukit terisolir, yang membentang dari Berbah-Imogiri.
Lokasi tersebut merupakan perbatasan antara rangkaian Pegunungan Selatan
Yogyakarta bagian barat dengan Dataran Yogyakarta.
Periode vulkanisme pada Pegunungan Selatan dilanjutkan secara selaras oleh
Formasi Semilir. Formasi Ini tersusun oleh hasil dari proklastik jatuhan, surge,
dan aliran dengan struktur dune dan antidune, lapisan kristal,
laminasi butiran dengan sortasi baik, lapisan diffuse, breksi (dengan
blok pumis yang tebal), tutupan material ukuran debu, dan cukup fragmen arang
(Smyth dkk., 2011). Secara setempat dijumpai Formasi Semilir hasil dari endapan
pada lingkungan lereng marine. Hal ini didasarkan atas struktur scouring,
flame, endapan traksi dan suspensi, dan lipatan slump. Umur
formasi ini adalah Miosen Awal (Smyth dkk., 2011; Surono, 2008b). Lingkungan
pengendapan formasi ini pada bagian bawah berada di laut yang mendangkal ke
atas menjadi darat pada Formasi Semilir Bagian Atas. Perubahan lingkungan ini
tidak dijelaskan pada titik mana oleh peneliti. Kemudian Formasi Nglanggran
terendapkan menjari dengan Formasi Semilir dan beberapa tempat selaras. Formasi
Nglanggran ini memiliki ketebalan 200 – 500 m berupa breksi andesit yang masif
dan resisten, batupasir kaya akan kristal, dan sedikit lava (Smyth dkk., 2011).
Didalam (Surono, 2009) menjelaskan formasi ini tersusun atas breksi gunung api,
tuf, aglomerat berlapis buruk, lava bantal andesit-basal, breksi autoklastik
dan hyaloklastik. Lalu terjadi penurunan aktivitas vulkanik, sehingga
berkembang pembentukan karbonat. Periode ini diawali oleh pengendapan batuan
vulkaniklastik yang berlanjut menjadi batuan karbonat dari Formasi Sambipitu,
kemudian ditindih secara selaras oleh Formasi Oyo, laluWonosari, dan paling
atas adalah Formasi Kepek
Berbeda dengan penelitian
oleh (Bronto dkk, 2008), mereka menginterpretasi bahwa lava bantal Watuadeg
ditumpangi secara tidak selaras oleh Formasi Semilir berdasarkan perbedaan umur
yang sangat mencolok antara umur lava bantal dan Formasi semilir, yaitu 56 ±
3,8 juta tahun lalu (Ngkoimani dkk., 2006) dan Miosen Awal – Miosen Tengah
(Surono dkk., 1992 dan Rahardjo, 2007), secara berurutan. Bukti lain yang
digunakan oleh Bronto dkk. (2008) adalah keberadaan fragmen batuan pecahan lava
bantal di dalam Formasi Semilir yang diinterpretasikan sebagai hasil dari erosi
karena ada selang pengendapan. Kesimpulan penelitian (Bronto dkk, 2008) menyatakan bahwa kedudukan
stratigrafi lava bantal itu tidak selaras di bawah Formasi Semilir karena
perbedaan ciri litologi, waktu pemben-tukan, dan di antaranya terjadi
ketidakselarasan, maka lava bantal Watuadeg tidak dimasukkan ke dalam Formasi
Semilir.Lava bantal Watuadeg ini mungkin dapat dikorelasikan dengan lava bantal
lainnya di Pegunungan Selatan.
Kehadiran lava bantal didaerah tersebut biasa digunakan
untuk menandai vulkanisme bawah air oleh karena itu ia biasa dijumpai
tersingkap bersama dengan batuan sedimen. Akan tetapi, hubungan stratigrafi
antaralava bantal dan batuan sedimen, seperti misalnya vulkaniklastik kaya
pumis, yang hadir bersamamungkin membingungkan karena perbedaan mekanisme
pembentukannya. Ada beberapa singkapan lava bantal di Pegunungan Selatan dan
salah satunya terdapat di Watuadeg, Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Lava bantal di lokasi ini terdapat bersama dengan batuan
vulkaniklastik bagian dari Formasi Semilir, dimana hubungan stratigrafi yang
telah diusulkan oleh peneliti terdahulu masih kontroversi (harijoko dkk, 2014).
Dimana G.
Watuadeg berlokasi di dusun Sumber kidul, Desa Kalitirto, Kecamatan
Berbah, di simpulkan memiliki Aliran lava basal piroksin
berstruktur bantal, struktur aliran berarah U70ºT di bagian utara sampai dengan
U150ºT di bagian selatan Kali Opak, 200 m di sebelah baratnya terdapat bukit
kecil juga tersusun oleh basal piroksen berumur 56,3±
3,8 Ma (Bronto
dkk, 2008). Jika lava
bantal panas dan sedimen hadir bersamaan maka akan terjadi ubahan hidrotermal.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka (harijoko dkk, 2014) melakukan pengamatan geologi lapangan dan
beberapa analisis laboratorium seperti pengamatan sayatan tipis, analisis
difaksi sinar-X (XRD) dan analisis paleontologi dengan sampel batuan sedimen
yang terjebak di antara bongkah lava bantal dan batuan sedimen yang menumpangi
lava bantal. Pengamatan sayatan tipis dan analisis XRD menunjukkan bahwa
sedimen antar bongkah lava bantal adalah sama dengan batuan vulkaniklastik yang
menumpangi lava bantal. Mineral ubahan seperti smektit, kristobalit dan
heulandit (zeolit) hadir hanya di batuan sedimen yang terjebak di antara
bongkah lava bantal dan diinterpretasi sebagai hasil dari ubahan hidrotermal
setempat ketika lava panas bersinggungan dengan air laut. Analisis paleontologi
terhadap batuan sedimen di antara bongkah lava bantal menemukan fosil
foraminifera (Goboquadrina altispira and Globorotalia peripheroronda) yang menandakan
umur Miosen Tengah sedangkan fosil foraminifera bentonik (Amphistegina
lessonii) menandakan lingkungan pengendapan neritik. Kesamaan batuan, umur dan
kehadiran mineral ubahan hidrotermal menunjukkan bahwa lava bantal di Watuadeg
dan vulkaniklastik terbentuk bersamaan, oleh karena itu (harijoko dkk, 2014) mengusulkan
bahwa hubungan stratigrafinya adalah selaras serta lingkungan erupsi lava
bantal diperkirakan adalah neritik dalam – tengah..
Data yang digunakan (Bronto dkk, 2008) sebagai dasar
interpretasi kurang handal, dimana umur lava bantal yang dilaporkan (Ngkoimani
dkk, 2006) 56 ± 3,8 juta tahun lalu bertentangan dengan hasil penelitian
sebelumnya seperti: Hall (1995) menjelaskan pembentukan palung Sunda-Jawa
dimulai pada 40 jtl. Lebih lanjut lagi, berdasarkan hasil penanggalan mutlak
batuan menggunakan metode jejak belah zirkon yang terkandung dalam batuan
vulkaniklastik pertama yang muncul pada Pegunungan Selatan, (Smyth dkk, 2011)
mengungkapkan bahwa inisiasi busur Pegunungan Selatan dan penunjaman di bawah
Jawa dimulai pada Kala Eosen Tengah (42 jtl). Selain itu pembentukan breksi dengan
fragmen lava bantal bisa diinterpretasikan dengan mekanisme selain proses
erosi, sehingga argumen masuknya pecahan lava bantal ke dalam breksi sebagai
bukti ketidakselarasan menjadi lemah.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Ngkoimani, 2005) untuk mengetahui umur absolut menggunakan metode K/Ar
lebih tepat dalam menentukan umur batuan dibandingkan dengan melakukan penelitian statigrafi
lapangan yang menekankan hubungan antar lapisan sedangkan Batu-batuan gunung berapi yang bersifat seperti kaca
sering kali dipilih untuk tujuan ini oleh karena batu-batuan itu dipandang
tidak dapat ditembus oleh gas dan mempunyai daya tahan yang mantap terhadap
pengaruh cuaca. Asumsi pertama ialah bahwa apabila batu-batuan gunung berapi
itu telah menjadi keras dan tidak lagi lumer, maka ia hanya memuat bahan
radioktif K-40 dan tidak mengandung gas Ar-40, oleh karena gas Argon-40 pasti
telah lolos pada waktu terjadi pembekuan batu itu. Lalu selang waktu tertentu,
K-40 akan mengalami kemerosotan dan membentuk Ar-40 yang tidak lagi dapat
lepas. Maka, dengan mengukur jumlah K-40 dan Ar-40, terbukalah kemungkinan
untuk memperkirakan berapa lama waktunya sejak terjadi pembekuan batu-batuan
itu. Tetapi, tetap ada masalah kontaminasi pada sampel.
Kesalahan maupun kekeliruan yang
mungkin dapat terjadi dalam metodeiniantara lain sebagai berikut : 1) Dapat
diketahui jumlah kelimpahan K-40 di dalam lapisan kulit Bumi hanyalah 4 bagian
setiap jutanya. Bahan radioktifnya akan sulit diukur karena bahan tersebut
sudah mengalami kemerosotan pada jumlah kadar yang sangat rendah. 2) Setiap ada
lepasnya K-40 dari bahan asli atau ke dalam bahan asli dari batu-batuan
sekitarnya akan sangat mempengaruhi ketepatan penghitungan perkiraan umur. 3)
Dari setiap sembilan atom dari K-40 yang mengalami kemerosotan hanya ada satu
atom Ar-40 yang terbentuk, maka jumlah argon yang harus dijajaki secara kimiawi
akan sangat kecil jumlahnya. 4) Ar-40 lazimnya terdapat secara alamiah di udara
di mana jumlahnya 1% (33 kali lebih tinggi dari jumlah konsentrasi karbon
dioksida yang terdapat di udara). 5) Apabila sejumlah kecil argon dari udara
bocor masuk ke dalam batu-batuan maka umur batu-batuan itu akan menghasilkan
perkiraan umur terlalu tinggi.
Pustaka Acuan
Bronto, S.,
Partama, Hartono, dan Sayudi. 1994. Penyelidikan Awal Lava Bantal Watuadeg, Bayat,
dan Karangsambung, Jawa Tengah. Proceedings Geologi dan Geotektonik Pulau
Jawa. Hal 143-150.
Bronto, S., S.
Mulyanigsih, G. Hartono, dan B. Hastuti. 2008. Gunung api purba Watuadeg:
Sumber erupsi dan posisi stratigrafi. Jurnal Geologi Indonesia, 3 (3) September
2008. Hal: 117-128
Harijoko, dkk. 2014. Re-Interpretasi Hubungan Lava Bantal WATUADEG dengan
Batuan Vulkaniklastik di Desa Watuadeg, Berbah, Sleman, D. I. Yogyakarta. Jurusan
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jalan Grafika No. 2 Kampus UGM,
Indonesia.
Ngkoimani, La Ode, Satria Bijaksana, Challid I. A., Paleo-magnetic and
Geochronological
Constraints On The
Cretaceous-Miocene Tectonic Evolution of Java. Proceedings, Jakarta 2006
Geosciences Conference and Exhibition.
Smyth, H, R.
Hall, J. Hamilton, Pete Kinny, 2011. A-Toba scale eruption in the Early Miocene:
The Semilir eruption, East Java, Indonesia. Elsevier B. V.
Surono. 2009.
Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah, J. S. D. Geologi Vol. 19 (3) Juni 2009. hal 1-13
Surono. 2008a.
Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan
Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jurnal Geologi Indonesia Vol. 3 (4)
Desember 2008, hal 15-25.
Surono. 2008b.
Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah.
J.S.D. Geol. Vol 18 No. 1 Februari 2008, hal 29-41.
Comments
Post a Comment