KARAKTERISASI GEOKIMIA MAGMA GUNUNG API SLAMET,
PROVINSI JAWA TENGAH
I. PENDAHULUAN
Gunung Slamet merupakan gunungapi berumur kuarter yang secara administrasi terletak di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas (Gambar 1). Gunung tersebut termasuk dalam jalur busur kepulauan Sunda, yaitu sebagai hasil subduksi ke utara antara Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia. Subduksi pada jalur Sunda arcs sendiri telah mengakibatkan keragaman komposisi pada hasil proses magmatisme pada kawasan sekitar Gunung Slamet, yang mencerminkan proses-proses kompleks yang telah terjadi pada magma busur kepulauan selama proses naiknya magma menembus litosfer. Keragaman hasil proses magmatisme dari Gunung Slamet sendiri, dapat dilihat dari produk-produk Gunung Slamet Tua hingga Gunung Slamet Muda yang bervariasi pada komposisi mineralogi serta geokimianya, berupa lava basalt, lava andesit, piroklastik serta keberadaan batuan-batuan terobosan (intrusi).
Secara fisiografis, Gunung Slamet berada di Zona Gunung Api Kuarter yang di sekitarnya merupakan Zona Serayu Utara (Van Bemmelen, 1949). Berdasarakan Smyth dkk. (2005), fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountain Zone),
2. Busur volkanik masa kini (Present-day Volcanic Arc),
3. Zona Kendeng (Kendeng Zone), dan
4. Zona Rembang (Rembang Zone)
Gambar 1. Fisiografi Jawa bagian timur (Van Bemmelen, 1949)
1.1. Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah penelitian secara regional termasuk dalam bagian stratigrafi daerah Purwokerto-Tegal yang telah disusun oleh Djuri, dkk. (1996) (dikompilasi oleh Husein dkk., 2013 pada Gambar 2). Lokasi penelitian berada pada peta rupa bumi Indonesia Lembar Belik (1308-641). Berikut merupakan tatanan stratigrafi daerah penelitian dimulai dari yang tertua adalah Formasi Rambatan (Tmpr) Halang (Tmph), Formasi Kumbang (Tmpk), Batuan terobosan Tersier (Tmi(d)), Batuan terobosan Tersier (Tmi(m)).
Gambar 2. Kolom stratigrafi Serayu Utara dan Selatan (dikompilasi oleh Husein dkk. (2013). Stratigrafi lokasi penelitian termasuk pada Zona Serayu Utara bagian barat.
1. Formasi Rambatan (Tmpr)
Formasi Rambatan ini terdiri dari serpih, napal dan batupasir gampingan. Napal berselangseling dengan batu pasir gampingan berwarna kelabu muda. Banyak dijumpai lapisan tipis klasit yang tegak lurus dengan kemiringan lapisan. Banyak mengandung foraminifera kecil. Tebal lapisan sekiar 300 meter. Menurut Djuri dkk. (1996), Formasi Rambatan ini berumur Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan dengan mekanisme arus turbidit sistem kipas bawah laut (Kertanegara dkk., 1987).
2. Formasi Halang (Tmph)
Formasi ini terdiri dari konglomerat tufan, batupasir dan napal bersisipan batupasir. Di atas bidang perlapisan batupasir, terdapat bekas jejak cacing atau burrow. Foraminifera kecilnya menunjukkan umur Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi ini memiliki ketebalan 800 m. Formasi Halang merupakan jenis endapan sedimen turbidit pada zona bathyal atas (Kastowo dan Suwarna, 1996). Di beberapa tempat pada bagian atas formasi ini, dijumpai batugamping terumbu.
3. Formasi Kumbang (Tmpk)
Formasi ini terdiri dari breksi, lava andesit, dan tuff. Di beberapa tempat terdapat breksi batuapung dan tuff pasiran. Formasi ini merupakan endapan yang khas dari produk gunungapi Pliosen. Van Bemmelen (1949) mengatakan umur formasi yaitu Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada suatu sistem kipas bawah laut dengan mekanisme arus turbidit (Kartanegara dkk, 1987) dan memiliki ketebalan sekitar 2000 m (Djuri dkk, 1996).
4. Batuan Terobosan Tersier (Tmi(d))
Formasi ini tersusun oleh batuan beku diorit yang berwarna coklat tua dan hitam. Bertekstur holokristalin subdiabas porfirit dengan fenokris felspar dan mineral–mineral felmis. Batuan ini diperkirakan berumur Tersier.
5. Lava Gunung Slamet (Qvls)
Satuan ini tersusun oleh lava basalt dan andesit berongga yang tersebar disepanjang lereng timur gunung Slamet.
6. Aluvium (Qa)
Endapan aluvium tersusun oleh material lepas seperti kerikil, pasir dan lanau sebagai material endapan sungai yang memiliki ketebalan tertentu.
1.2. Struktur Geologi
Secara regional di Pulau Jawa terdapat 3 pola struktur yang dominan. Pertama, pola struktur dengan arah timurlaut-baratdaya atau disebut juga arah Meratus yang terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal). Kedua, pola struktur dengan arah utara-selatan yang disebut sebagai Pola Sunda, terbentuk pada 53-32 juta tahun yang lalu (Oligosen Akhir). Ketiga adalah berarah barat-timur yang umumnya dominan berada di daratan Pulau Jawa yang disebut dengan Pola Jawa. Menurut Sangaji, dkk (2017) dalam penelitianya struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian yaitu kekar dan sesar, dimana sesarsesar tersebut merupakan Sesar Mendatar Kanan Gondang, Sesar Naik Gunungtiga, Sesar Turun Belik, Sesar Mendatar Kanan Bulakan, Sesar Mendatar Kanan Watukumpul, Sesar Mendatar Kiri Pinus, Sesar Mendatar Kanan Simpur, Sesar Mendatar Kiri Halang, Sesar Mendatar Kanan Tepus Timur. Berdasarkan data kekar yang ada pada daerah penelitian memiliki orientasi Timur Laut-Barat Daya. Sesar yang didapatkan pada daerah penelitian didapatkan berdasarkan lapangan dan analisis kelurusan berdasarkan data DEM (Digital Elevation Model).
1.3. Fasies Gunungapi
Fasies gunungapi dapat dibagi menjadi 4 (empat) menurut Sangaji, dkk (2017), yaitu fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial dan fasies distal. Fasies gunungapi tersebut dapat dibedakan berdasarkan komposisi batuan penyusunya. Fasies sentral merupakan jalan untuk keluarnya magma ke permukaan, maka dari itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan seperti halnya leher gunungapi, retas, kubah lava permukaan dan juga sill. Fasies proksimal merupakan kawasan yang paling dekat dengan fasies sentral atau fasies pusat. Batuan penyusunya didominasi oleh perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan aglomerat. Kelompok batuan ini sangat resisten sehingga dapat membentuk tinggian. Fasies medial merupakan lokasi yang menjauhi sumber, pada fasies ini didominasi oleh breksi lahar yang mulai berkembang, aglomerat dan aliran lava sudah mulai berkurang. Fasies distal merupakan fasies dengan daerah pengendapan yang sangat jauh dari sumber, sehingga pada fasies ini didominasi oleh endapan rombakan gunungapi, seperti batupasir, batulanau, dan konglomerat. Berdasarkan komposisi batuan penyusun, maka pada daerah penelitian masuk kedalam fasies proksimal hingga distal. Pada fasies proksimal dicirkan oleh aliran lava basalt dan juga andesit yang sangat dominan menyusun tubuh sungai. Sedangkan pada fasies distal dicirikan oleh endapan sedimen marine yang terdapat pada Formasi Rambatan dan juga Formasi Halang.
II. DATA DAN METODE
Mempelajari karakteristik magma batuan Gunung Slamet maka dilakukan Analisis geokimia. Data yang digunakan (Tabel 1) merupakan data sekunder yang diunduh dari http://georoc.mpch-mainz.gwdg.de/georoc/. Data yang diunduh merupakan data penelitian dari Whitford dkk. (1975), Whitford dan Nichols (1976), Vukadinovic dan Nichols (1989), Vukadinovic dan Sutawidjaja (1995), dan Reubi dkk. (2002), diperoleh kandungan oksida unsur utama terdiri dari SiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na2O, K2O, TiO2. (Wilson, 1989), kemudian dimasukkan ke dalam diagram harker untuk menentukan karakteristik, proses pembentukannya, dan tatanan tektoniknya. Semua proses analisa dilakukan menggunakan perangkat lunak Petrograph (Petrelli dkk, 2005).
III. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil ploting unsur utama pada diagram Harker SiO2 vs K2O, perolehan data dengan kisaran nilai SiO2 antara 56,02-96,69 wt% dan nilai K2O antara 0,95-3,3 wt% semuanya termasuk ke dalam afinitas magma calc-alkaline (intermediate-high) menurut Pecerillo dan Taylor (1976) dapat dilihat pada (Gambar 3).
Gambar 3. Diagram perbandingan SiO2 vs K2O menurut Peccerillo dan Taylor (1976)
Hasil ploting diagram Harker SiO2 vs K2O menunjukan korelasi yang cenderung naik-turun antara K2O terhadap kenaikan SiO2 (Gambar 3). Hal ini dapat diasumsikan terjadinya proses lain selain fraksinasi kristal, yaitu magma mixing atau asimilasi magma. Dapat dibandingkan dengan model magmatisme busur kepulauan menunjukkan semakin jauh dari zona penunjaman, tingkat alkalinitas magma cenderung meningkat. Dapat dilakukan perbandingan studi kasus berdasarkan nilai K2O pada nilai SiO2 yang tetap, terhadap jarak gunung dengan palung. Sebagai contoh kasus pada hasil penelitian terdahulu oleh Abdurrachman (2012) terhadap Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan yang terletak bersebelahan, kedua gunung tersebut menunjukkan nilai K2O yang berbeda dan jarak terhadap palung yang relatif sama. Gunung Papandayan memiliki nilai K2O yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Gunung Cikuray, dari hasil tersebut dapat ditafsirkan bahwa aktivitas magma pada Gunung Papandayan mengalami magma mixing dan asimilasi (Abdurrachman, 2012). Hasil penelitian tersebut dapat disebandingkan dengan Gunung Slamet yang letaknya relatif sejajar dengan Gunung Ciremai dan Gunung Sundoro. Ketiganya memiliki jarak dengan palung antara 312 km hingga 317 km, jarak dengan palung yang relatif sama seharusnya ketiga gunung tersebut memiliki nilai K2O yang tidak jauh berbeda. Namun data yang digunakan menunjukkan Gunung Slamet memiliki nilai K2O yang paling tinggi sebesar 3,3 wt.% sedangkan Gunung Sundoro 2,0501 wt.% dan Gunung Ciremai 1,729 wt.%, sehingga mengindikasikan magma Gunung Slamet mengalami aktivitas magma mixing dan asimilasi seperti Gunung Papandayan .
Gambar 4. Diagram Harker (1909) Gunung Slamet dan sekitarnya.
Pengeplotan unsur mayor pada keseluruhan diagram Harker (Gambar 4) yang menunjukkan hubungan antara unsur mayor terhadap SiO2, grafik yang terbentuk tidak terlalu linier (linearitas lemah) sehingga menjadi indikasi bahwa tekanan fraksinasi kristalisasi kuat.
Afinitas magma pembentuk batuan dapat juga ditentukan menggunakan diagram FeOtot/MgO vs SiO2. Hasil ploting pada diagram FeOtot/MgO vs SiO2, dengan nilai FeOtot/MgO 0.77-2.51 wt%, maka berdasarkan pada analisis termasuk ke dalam afinitas magma calc-alkaline (Miyashiro, 1974) seperti terlihat pada Gambar 5. Hasil afinitas magma calc-alkaline disebabkan karena tingginya nilai rasio antara SiO2 dan juga dari pengeplotan diagram AFM (Irvine dan Baragar, 1971) memperlihatkan bahwa semua sampel berada pada afinitas calc-alkaline (Gambar 6). Penelitian Pasha (2015) yang menganalisis data petrografi menunjukan persentase fenokris lebih dari 25%, yang menunjukan karakteristik batuan pada afinitas calk-alkaline. Selain itu, tidak dijumpai mineral olivin, melimpahnya hornblende dan kehadiran biotit, sehingga sampel diorit dan andesit lebih mencerminkan afinitas calc-alkaline. Hasil calc-alkaline pada diagram variasi Harker SiO2 vs K2O dapat dihubungkan pula dengan tatanan tektonik yang berupa batas lempeng konvergen, yaitu berupa island arcs dan active continental margins (Wilson, 1989). Nilai TiO2 berkisar antara 0.61-2.45 wt% (Tabel 1), sehingga dapat diinterpretasikan sebagai batuan volkanik yang terbentuk pada lingkungan busur kepulauan. Karena kandungan TiO2 yang rendah-menengah, mencirikan karakter batuan yang berasal dari aktivitas magmatisme pada zona penujaman (Wilson, 1989) dimana Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif (zona penunjaman) hal ini diperkuat dari penelitian yang dilakukan oleh (permana dkk, 2014) yang mengatakan bahwa Struktur geologi permukaan yang berkembang di kawasan penelitian mereka yaitu Gunungapi Slamet sangat dipengaruhi oleh penunjaman normal lempeng Australia. Dengan membandingkan proporsi TiO2, MnOx10, dan P2O5x10 (Mullen, 1983), setting tektonik pembentukan magma Gunung Slamet juga dapat diinterpretasikan sebagai setting calc-alkaline basalt.
Gambar 5. Diagram perbandingan SiO2 vs FeOtot menurut Miyashiro (1974)
Gambar 6. Diagram AFM berdasarkan Irvine & Baragar (1971)
Menurut Dirk (2008), enrichment pada unsur LILE (Rb, Ba, Th, K) dan LREE (La-Sm) dan penurunan pada HREE (Eu-Lu) merupakan karakteristik dari batuan gunungapi yang terbentuk di zona subduksi. Selain itu, tipe batuan volkanik Gunung Slamet juga dapat diklasifikasikan dengan diagram LeBas dkk. (1986). Sedangkan pada Gambar 7 merupakan ini juga menunjukan variasi dari batuan penyusun gunungapi G.Slamet berdasarkan diagram TAS (Total Alkali Silica) dimana dengan membandingkan nilai SiO2 terhadap Na2O + K2O, dapat disimpulkan bahwa batuan gunungapi Gunung Slamet dapat digolongkan sebagai andesit – andesit basaltik. Hasil tersebut mendukung analisis-analisis yang sebelumnya telah diuraikan.
Gambar 7. Diagram perbandingan SiO2 vs Na2O+K2O menurut LeBas dkk (1986)
Tabel 1. Data yang digunakan dalam analisis geokimia Gunung Slamet (dalam satuan %).
IV. KESIMPULAN
Kondisi geokimia di Gunungapi Slamet dan sekitarnya dengan unsur mayor pada keseluruhan diagram Harker yang menunjukkan hubungan antara unsur mayor terhadap SiO2, grafik yang terbentuk tidak terlalu linier (linearitas lemah) sehingga menjadi indikasi bahwa tekanan fraksinasi kristalisasi kuat. Gunung Slamet memiliki nilai K2O yang paling tinggi sebesar 3,3 wt.% sedangkan Gunung Sundoro 2,0501 wt.% dan Gunung Ciremai 1,729 wt.%, sehingga mengindikasikan magma Gunung Slamet mengalami aktivitas magma mixing dan asimilasi seperti Gunung Papandayan . Membandingkan nilai SiO2 terhadap Na2O + K2O. Dari klasifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa batuan gunungapi Gunung Slamet dapat digolongkan sebagai andesit – andesit basaltik. Afinitas magma calc-alkaline yang menunjukan seri pembentukan busur magmatic telah mencapai tahap dewasa. Selama pembentukan batuan ini, evolusi magma yang berlangsung tidak hanya fraksinasi kristal saja, melainkan terjadi proses magma mixing dan asimilasi magma. Intrusi pada daerah penelitian terbentuk pada lingkungan subduksi busur kepulauan yang merupakan hasil tumbukan antar kerak samudra yang berarti terdapat lempeng samudra di dasar Pulau Jawa .
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, M., 2012. Geology and Petrology of Quartenary Papandayan Volcano and Genetic Relationship of Volcanic Rocks from the Triangular Volcanic Complex around Bandung Basin, West Java, Indonesia. Japan: Akita University (tidak diterbitkan).
Djuri, M., Samodra, H., Amin, T.C., Gafoer, S., 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa Tengah, Skala 1 : 100.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Dirk, M.H.J., 2008, Petrologi-Geokimia Batuan Gunung Api Tampomas dan Sekitarnya, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No.1 Maret 2008, p. 23-35, Pusat Survei Geologi: Bandung.
Husein, S., Jyalita, J., Nursecha, M.A.Q., 2013, Kendali Stratigrafi dan Struktur Gravitasi pada Rembesan Hidrokarbon Sijenggung, Cekungan Serayu Utara, Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6, Teknik Geologi UGM: Yogyakarta.
Kastowo, Suwarna, N., 1996, Geological Map of Majenang Quadrangle, Jawa, Geological Research and Development: Indonesia.
Kertanegara, L., Uneputty, H., Asikin, S., 1987, Stratigraphy and Tectonic position of North Central Java Basin during Tertiary Period, 16th Proceeding of Indonesian Geologist Conference, Bandung.
Pasha, D.A., Nur’aini, A., Abdurrochman, M., Aziz, M., 2015, Karakterisasi Batuan Intrusi Sekitar Gunung Api Slamet Berdasarkan Analisis Petrografi, Unsur Utama, dan Unsur Jejak Daerah Baturaden dan Sekitarnya, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke 8, Academia Industry Lingkage, Graha Sabha Pramana: Yogyakarta.
Peccerillo, A., Taylor, S.R., 1976, Geochemistry of Eocene calc-alkaline volcanic rocks From the Kastamonu area, northern Turkey. Contribution on Mineralogy and Petrology, 58, 63–81.
Permana,dkk. 2004. Studi Morfostratigrafi Dan Morfostruktur: Studi Kasus Prospek Lapangan Panasbumi Guci, Tegal, Jawa Tengah. Prosiding pemaparan hasil penelitian pusat penelitian geoteknologi lipi tahun 2014
Petrelli, M., Poli, G., Perugini, D., Peccerillo, A., 2005, PetroGraph: A new software to visualize, model, and present geochemical data in igneous petrology, AGU100 Geochemistry, Geophysics, Geosystems Vol. 6, Issue 7, DOI: https://doi.org/10.1029/2005GC000932.
Reubi, O., Nicholls, I. A., Kamenetsky, V. S., 2002, Early Mixing and Mingling in the Evolution of Basaltic Magmas: Evidence from Phenocryst Assemblages, Slamet Volcano, Java, Indonesia, J. Volcanol. Geotherm. Res. 119, p. 255-274. Doi: 10.1016/S0377-0273(02)00357-8.
Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., Kinny, P., 2005, East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes and Ancient Basement, Proceedings of Indonesian Petroleum Association 30th Annual Convention and Exhibition: Jakarta.
Sutawidjaja, I.S., Vukadinovic, D., 1995. Geology, Mineralogy and Magma Evolution of Gunung Slamet Volcano, Java, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, Vol. II, No. 2, p. 135-164.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia Vol. IA, Martinus Nijhoff: Belanda.
Wilson, M., 1989, Igneous Petrogenesis a Global Tectonic Approach, Departement of Earth Sciences, University of Leeds: Leeds.
Comments
Post a Comment